Satu Kata Tanpa Huruf
Rp 500.000
Satu Kata Tanpa Huruf
Penulis : Ahmad Mujadi
Editor : Zainullah
Desain Cover : Nur Syarif
Tata Letak : Nisa
Ukuran : Hal 264, Uk: 14,82 x 20,99 cm
Penulis : Ahmad Mujadi
Editor : Zainullah
Desain Cover : Nur Syarif
Tata Letak : Nisa
Ukuran : Hal 264, Uk: 14,82 x 20,99 cm
Sinopsis
Konflik batin Zen kian rumit. Apakah kisah antara dirinya, Marina, dan Nonik benar-benar telah usai dan bahagia? Ataukah perasaan yang dulu dikubur dalam-dalam justru tumbuh menjadi simpul rumit yang tak bisa diselesaikan dengan kata "selesai"?
Di luar kelas, kawan-kawan seperjuangan satu per satu mulai mencari tempat pengabdian yang lebih baik, bukan karena menyerah, tapi karena tekanan yang tak kasat mata: sistem yang perlahan menggerus semangat, birokrasi yang kejam dalam diam, dan janji negara yang menguap di ujung sinyal. Ketika ayahnya jatuh sakit dan Zen tak punya cukup uang untuk pulang, semua perjuangannya terasa sia-sia.
Apakah ketulusan cukup untuk membayar semua kehilangan?
Getirnya pengabdian yang tak selalu dibalas bahagia, saat istrinya bersiap melahirkan anak kedua mereka—di kota yang terlalu jauh untuk dijangkau. Ia hanya punya satu tubuh, satu waktu, dan satu pilihan.
Tentang keputusan-keputusan yang tak hitam-putih, dan tentang guru yang terus hadir meski hatinya robek oleh pilihan-pilihan yang sulit. Akankah Zen tetap bertahan dengan sepenuh hati?
Ataukah, dalam diam, ia mulai menyusun kalimat pamitnya sendiri?
Konflik batin Zen kian rumit. Apakah kisah antara dirinya, Marina, dan Nonik benar-benar telah usai dan bahagia? Ataukah perasaan yang dulu dikubur dalam-dalam justru tumbuh menjadi simpul rumit yang tak bisa diselesaikan dengan kata "selesai"?
Di luar kelas, kawan-kawan seperjuangan satu per satu mulai mencari tempat pengabdian yang lebih baik, bukan karena menyerah, tapi karena tekanan yang tak kasat mata: sistem yang perlahan menggerus semangat, birokrasi yang kejam dalam diam, dan janji negara yang menguap di ujung sinyal. Ketika ayahnya jatuh sakit dan Zen tak punya cukup uang untuk pulang, semua perjuangannya terasa sia-sia.
Apakah ketulusan cukup untuk membayar semua kehilangan?
Getirnya pengabdian yang tak selalu dibalas bahagia, saat istrinya bersiap melahirkan anak kedua mereka—di kota yang terlalu jauh untuk dijangkau. Ia hanya punya satu tubuh, satu waktu, dan satu pilihan.
Tentang keputusan-keputusan yang tak hitam-putih, dan tentang guru yang terus hadir meski hatinya robek oleh pilihan-pilihan yang sulit. Akankah Zen tetap bertahan dengan sepenuh hati?
Ataukah, dalam diam, ia mulai menyusun kalimat pamitnya sendiri?
Diskusi